Selat Sunda, Aku Menangis

Deburan ombak kecil menggelepar putih dari kejauhan
Saat roda bus cekatan menuruni bukit dan tikungan tajam menyusuri jalanan menuju pelabuhan bakauhuni
Di ujung pulau sumatra ini memandang kagum jejeran bukit barisan
*
Di geladak fery nampak selat yang indah
Samudera biru menenangkan mata dan jiwa
Hamparan air yang tak tahu kedalamannya
Ombak-ombak yang terkadang membuat badan kapal bergoyang
*
Di sana puncak anak krakatau menampakkan keangkerannya
Tertutup kabut, teringat cerita maha dahsyat ledakannya
Beberapa nampak nelayan kecil mengadu keberanian dengan gelombang dan terik surya menyengat tak mengendurkan semangat juang
*
Hampir tiga kali aku menyeberangi selat ini
Tapi tidak untuk sekian kalinya
Tak mau turuti kata orangtuaku
Hatiku tak seluas samudera dan sekuat angin topan
Berat rasanya dengan segunung beban di lubuk hati
*
Mungkin ku akan terjun dan tenggelam di dasar samudera
Jasadku abadi menunggu waktu
Lebih baik mati di timbunan air ini membawa dan memendam cintaku
Menguburnya bersama ikan dan karang
*
Tak ku mau
Andai raga ini berpijak ke tanah jawa untuk sekian kalinya
Saat harus dijodohkan dengan gadis pilihan kakakku
Masih adakah perkara seperti itu
Memaksakan cinta padahal bukan cinta
Ku bukan budak yang dapat ditatar dan untuk singgahsanakan
Melukai hati cederai rasa
*
Pangeran atau putri itu bukan logikaku
Sesenyap jiwa yang ingin ku utarakan
Tertabrak dinding beku
Tersendat arus adat
Teriakan yang ada melampaui batas sanggupku
Meresapi duka yang tak pernah hilang walau tertiup sejuknya angin senja
Membakar naluri meronta teguh
*
Ini ragaku perwujudan dari jiwaku
Jiwa yang tak pernah kau kenali
Tersungut luka ku di sini
Menunggu tak pasti suatu masa akan jadi hari bahagiaku
Bukan pula harta dan warisan kudamba
Hanya satu kuminta
Bebas menentukan jalan hidupku

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nafsu Birahi

Talenta

Dosa Terindah